Monday, May 26, 2008

membaca di(plomasi)puisi

alangkah indah satu puisi dirangkai dan dibacakan, tanpa batas usia, tanpa batas ras, tanpa batas gender, tanpa batas apapun jua.....

bahkan kala semua orang di satu ruangan tak mengerti bahasa dan makna puisinya, tetap saja keindahan dihirup juga olehnya.....

andai diplomasi seperti puisi, keindahannya dihirup siapa saja yang ada didalamnya,
pembacanya, pendengarnya, penikmatnya.....

oh alangkah indah dunia bila semua menikmati keindahan diplomasi tanpa batas apapun jua......
dan semua orang memahami keindahannya, dan semua yang menjalaninya teracuni oleh keindahannya

karena tak ada puisi yang menghakimi, tentunya tidak ada pula diplomasi
karena keindahan puisi digemakan pembaca puisi, andai ada pembaca diplomasi menyuarakan keindahan dunia ini........

100 tahun kebangkitan nasional

Dan kita....
selalu berkutat dalam kejemuan akan keterbatasan kita,
selalu tenggelam dalam orasi keburukan kita sendiri,
selalu berlari mengejar mimpi yang telah diraih bangsa lain.
Bukan mimpi nenek moyang kita, bukan pula harapan yang ditinggalkannya kepada kita

Dan kita sebagai bangsa
Tidak jua memberi makna pada hidup kita,
Tidak juga bersyukur atas kekayaan yang tiada tara,
Belum juga tergerak untuk sepenuhnya menghargai apa yang diwariskan para pendiri bangsa

Mari coba kita renungkan….
20 Mei 1908,
Ada kebangkitan di lubuk jiwa pemuda Indonesia untuk bersatu, bergerak melawan penindasan atas bangsanya
20 Mei 1998,
Ada kebangkitan yang berbalut kemarahan, keputusasaan untuk mendobrak penindasan rezim atas bangsanya sendiri,
20 Mei 08, seratus tahun sudah semangat kebangkitan menjadi bangsa menyentuh jiwa pemuda Indonesia,

Apakah semangat kebangkitan menyusup di hati kita, menyatu di aliran darah kita, menggema di dinding otak kita?
Dan apakah kita sudah tergerak bangkit untuk
menjadi lebih arif memberi arti pada kebangsaan,
menjadi lebih bijak untuk turut tergerak membangun dan berhenti menghujat,
menjadi lebih bermakna tanpa banyak retorika

Indonesia.....
adalah sang ibu pertiwi yang tak pernah mengeluh seberapapun banyaknya diekploitasi,
Ibu pertiwi yang tak pernah menuntut balasan apapun atas apa yang kita dapatkan darinya,
Namun saat bangsa ini mulai tercerai berai, sang ibu yang mulai tua dan menjadi sangat sedih,

terguncang dengan hebat di Aceh, Padang dan Jogjakarta,
terbatuk-batuk di puncak merapi
dan kesedihan yang memuncak mengalirkan air mata berwarna hitam pekat di sidoarjo

Setelah seratus tahun sudah semangat kebangkitan menjadi bangsa menyentuh jiwa pemuda Indonesia,
Akan kah kita mulai tergerak untuk memberi makna pada bangsa kita?
Akan kah kita mulai melakukan apa yang kita bisa untuk memberi meskipun hanya sebuah mimpi?

Dan dari jauh,
barangkali kita bisa buat Indonesia tersenyum sejenak dan berhenti bersedih,
dengan menorehkan sejuta harapan anak bangsa melalui untaian kata seribu doa
semoga menjadi nyata kapan saja waktunya.......

semoga dengan pengharapan tulus kebangkitan itu menggema di jiwa kita
untuk Indonesia yang lebih baik,
untuk Indonesia yang kaya raya,
untuk Indonesia yang bersatu padu dan bangsa saling menghargai,

Setelah seratus tahun sudah semangat kebangkitan menjadi bangsa menyentuh jiwa pemuda Indonesia,

adakah kebangkitan di jiwa kita?

singapore, 20 mei 2008